IPK Tinggi, Mental Rapuh: Ada yang Salah dengan Cara Kita Mengukur Sukses

1 day ago 12
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Di lingkungan kampus, satu pertanyaan hampir selalu muncul di awal perkenalan: *“IPK kamu berapa?”*

Seolah-olah satu angka sudah cukup untuk merangkum seluruh perjalanan, usaha, dan nilai seseorang. Kita tumbuh dalam sistem yang meyakinkan bahwa IPK tinggi adalah tiket menuju masa depan yang aman. Namun, ironisnya, di balik transkrip nilai yang rapi, banyak mahasiswa justru menyimpan kegelisahan yang tidak pernah tercatat.

Saya melihat sendiri—dan mungkin juga merasakannya—bagaimana IPK perlahan berubah dari alat evaluasi akademik menjadi tolok ukur harga diri. Saat nilainya tinggi, kita merasa layak dan aman. Namun, ketika turun sedikit saja, muncul rasa gagal, cemas, bahkan malu. Seakan-akan keberhasilan hidup bisa runtuh hanya karena satu semester yang tidak berjalan sempurna.

Padahal, sejak awal IPK diciptakan untuk mengukur capaian akademik, bukan ketahanan mental, empati, atau kemampuan bertahan ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana. Sayangnya, sistem pendidikan kita terlanjur menyempitkan makna sukses menjadi sesuatu yang bisa dihitung dan dibandingkan. Akibatnya, proses belajar perlahan kehilangan makna. Yang dikejar bukan lagi pemahaman, melainkan angka.

Tekanan ini tidak datang dari kampus semata. Lingkungan sekitar turut berperan. Orang tua, dengan niat baiknya, sering kali menaruh harapan besar pada nilai. Masyarakat pun memuja gelar dan IPK sebagai simbol keberhasilan. Tanpa disadari, kita menciptakan ruang yang minim toleransi terhadap kegagalan. Gagal bukan lagi bagian dari proses belajar, melainkan sesuatu yang dianggap memalukan dan harus disembunyikan.

Tidak mengherankan jika banyak mahasiswa dengan IPK nyaris sempurna justru merasa kosong. Mereka terbiasa memenuhi standar, tetapi jarang diberi ruang untuk mengenali diri sendiri. Kelelahan dianggap hal biasa, burnout dianggap wajar, selama nilai tetap berada di zona aman. Mental yang rapuh seolah menjadi harga yang harus dibayar demi predikat “berprestasi”.

Yang sering luput adalah kenyataan bahwa kehidupan setelah lulus tidak berjalan dengan sistem penilaian seperti di kampus. Dunia nyata tidak menanyakan IPK setiap hari, tetapi menuntut kemampuan beradaptasi, berkomunikasi, serta bangkit setelah gagal. Nilai-nilai ini tidak tercantum dalam transkrip akademik, tetapi justru sangat menentukan bagaimana seseorang bertahan dan berkembang.

Saya tidak mengatakan bahwa IPK tidak penting. Ia tetap relevan dan layak diperjuangkan. Namun, ketika IPK dijadikan satu-satunya definisi sukses, kita sedang menciptakan generasi yang cerdas secara akademik, tetapi rapuh secara emosional. Kita berisiko menghasilkan lulusan yang takut salah, enggan mencoba hal baru, dan terus dihantui rasa tidak cukup.

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Sukses seharusnya tidak mengorbankan kesehatan mental. Pendidikan semestinya membantu manusia bertumbuh secara utuh, bukan sekadar unggul di atas kertas. Kampus, keluarga, dan masyarakat perlu mulai menghargai proses, bukan hanya hasil.

Mungkin keberhasilan sejati bukan tentang seberapa tinggi IPK yang kita raih, melainkan seberapa utuh kita menjalani hidup setelahnya. Jika sebuah sistem mampu menghasilkan angka yang indah, tetapi meninggalkan manusia yang lelah dan kehilangan arah, maka ada yang perlu kita pertanyakan—bukan pada mahasiswanya, melainkan pada cara kita mendefinisikan sukses itu sendiri.

Read Entire Article