Hakikat pekerjaan selalu berubah mengikuti perkembangan teknologi. Secara global, transformasi digital telah memunculkan gig economy—model kerja berbasis aplikasi yang menawarkan fleksibilitas waktu dan peluang pendapatan harian.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat atau Eropa, tetapi juga menyebar luas di Asia, termasuk Indonesia, sejalan dengan ekspansi kapitalisme platform yang diulas Srnicek (2017).
Di Indonesia, aplikasi digital mengubah cara orang bekerja dan mencari penghasilan. Jutaan orang kini mengandalkan platform seperti Gojek, Grab, Maxim, ShopeeFood, hingga marketplace dan freelance platform untuk bertahan hidup.
Fleksibilitas menjadi daya tarik utama: siapa pun bisa bekerja kapan saja. Namun, di balik janji kebebasan ini terdapat persoalan serius tentang status hukum, perlindungan sosial, dan masa depan pekerja gig.
Perubahan ini kontras dengan struktur kerja di era sebelum digital. Dahulu, pekerjaan didefinisikan melalui hubungan kerja formal: ada kontrak, jam kerja yang jelas, upah minimum, hak cuti, jaminan sosial, dan perlindungan keselamatan kerja, sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.
Identitas jabatan juga dipetakan secara sistematis melalui Klasifikasi Baku Jabatan Indonesia (KBJI) yang disusun BPS—berbasis ISCO—untuk mengelompokkan pekerjaan berdasarkan keterampilan dan fungsi jabatan. Struktur ini memberi kepastian hukum dan kerangka standar kompetensi tenaga kerja.
Hari ini, realitas berubah drastis. Gig economy membuat batas pekerjaan menjadi cair. Sopir ojek digital tidak lagi disebut pekerja, tetapi “mitra”. Kurir aplikasi disebut “pekerja mandiri”. Bahkan, banyak kerja digital belum tercatat dalam KBJI, sehingga posisi hukumnya pun kabur dan sulit diakui secara kelembagaan.
Sebelum gig economy berkembang, sopir angkutan umum, buruh pabrik, dan guru sekolah berada dalam sistem kerja formal dengan perlindungan negara. Kini, pekerja platform hanya mengandalkan rating aplikasi, insentif harian, dan algoritma yang menentukan hidup mereka—sesuai kajian manajemen algoritmik oleh Meijerink & Bondarouk (2023). Transformasi ini bukan sekadar perubahan alat kerja, melainkan juga perubahan mendasar atas definisi pekerjaan itu sendiri.
Alasan orang masuk ke gig economy beragam: kesulitan mengakses pasar kerja formal, tekanan ekonomi, tingginya biaya hidup, hingga kebutuhan pekerjaan cepat berpendapatan harian. Banyak pekerja gig justru bekerja 10–14 jam per hari, seperti diuraikan dalam laporan ILO mengenai work platform.
Survei Universitas Indonesia pada 2023 memperkirakan lebih dari 7,2 juta orang bekerja di sektor gig di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa gig economy tidak lagi menjadi ruang kerja alternatif, tetapi menjadi fondasi ekonomi digital Indonesia.
Namun, status pekerja masih didefinisikan sebagai “mitra,” bukan pekerja—menyebabkan mereka tidak memiliki hak atas upah minimum, perlindungan keselamatan kerja, jaminan sosial, dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Banyak orang masih menyamakan gig worker

1 day ago
5





































