Kita hidup di zaman di mana kecepatan menjadi kebajikan. Kalender yang penuh dianggap tanda dedikasi. Notifikasi yang tak pernah berhenti dianggap bukti relevansi. Bahkan rasa lelah sering dipakai sebagai identitas: "Aku capek, berarti aku penting." Setelah pandemi berakhir, perilaku kita pun berubah, kita merasa semua bisa di kerjakan secara paralel karena perkembangannya teknologi seperti online meeting maupun AI, kita juga merasa jika tidak multitasking, maka kita akan ketinggalan dengan yang lain.
Namun di balik semua itu, ada kegelisahan yang jarang dibicarakan. Banyak orang tidak benar-benar kelelahan karena pekerjaan yang berat, melainkan karena hidup yang tidak pernah diberi ruang untuk bernapas. Hari-hari terasa penuh, tetapi hampa. Banyak aktivitas, sedikit kehadiran. Banyak pencapaian kecil, namun kehilangan rasa arah.
Overmultitasking lahir dari dunia yang tidak memberi kita waktu untuk selesai dengan satu hal sebelum diminta berpindah ke hal lain. Ia bukan sekadar kebiasaan kerja, tetapi refleksi budaya - budaya yang mengagungkan kecepatan lebih tinggi daripada proses maupun orang tersebut.
Dari Multitasking ke Overmultitasking , Saat Otak Dipaksa Melewati Batas
Multitasking pernah dijual sebagai skill unggulan. Resume modern bahkan pernah menjadikannya nilai tambah. Tapi sains berbicara sebaliknya. Otak manusia tidak dirancang untuk fokus pada banyak hal sekaligus. Yang terjadi bukan multitasking, melainkan continuous partial attention - perhatian yang terpecah dan tidak pernah utuh.
Penelitian dari University of California Irvine menunjukkan bahwa dibutuhkan rata-rata 23 menit untuk kembali fokus setelah satu distraksi. Ketika distraksi datang puluhan kali sehari, fokus tidak pernah benar-benar pulih. Microsoft Work Trend Index (2024) mencatat bahwa pekerja modern menerima lebih dari 250 notifikasi per hari dan berpindah konteks kerja setiap 2–4 menit.
Inilah titik ketika multitasking berubah menjadi overmultitasking: kondisi di mana otak dipaksa bekerja terus-menerus tanpa kesempatan menyelesaikan satu siklus berpikir secara mendalam. Akibatnya bukan hanya penurunan produktivitas, tetapi penurunan kualitas keputusan, empati, dan kreativitas.
Overmultitasking sebagai Gejala Krisis Personal
Jika ditarik lebih dalam, overmultitasking bukan hanya masalah manajemen waktu, tetapi krisis personal. Kesibukan sering menjadi cara manusia menghindari pertanyaan besar tentang hidup. Ketika kita berhenti, kita dipaksa berhadapan dengan kelelahan, ketidakpastian, dan mungkin kekecewaan terhadap diri sendiri.
Maka kita terus bergerak. Terus mengisi. Terus menunda keheningan. Padahal keheningan sering kali bukan musuh, melainkan cermin. Dunia modern mengajarkan kita untuk terus berlari, tetapi jarang mengajarkan ke mana sebenarnya kita menuju.
Tren Dunia Kerja: Ketika Kesibukan Tidak Lagi Sama dengan Value
Secara global, dunia kerja sedang berada dalam paradoks. Di satu sisi, teknologi menjanjikan efisiensi. Di sisi lain, justru menciptakan tuntutan kehadiran konstan. Slack, Teams, WhatsApp, email, semuanya hadir bersamaan, tanpa jeda yang jelas.
Namun tren mulai bergeser. Perusahaan-perusahaan progresif mulai menyadari bahwa produktivitas sejati lahir dari kejelasan, bukan kesibukan. Muncul pendekatan seperti deep work culture, asynchronous collaboration, dan pembatasan meeting. Google , misalnya, mulai menguji kebijakan kerja yang memberi ruang fokus tanpa gangguan.

2 days ago
13





































