Dunia Digital dan Wajah Baru Kehidupan Beragama
Hidup di era digital berarti hampir setiap detik kita bersentuhan dengan layar: gulir linimasa, klik tautan, dan membagikan berbagai konten ke ruang publik yang nyaris tanpa batas. Aktivitas yang tampak sederhana ini sebenarnya menghadirkan banyak persoalan etik dan hukum, termasuk dalam perspektif fikih.
Di tengah derasnya arus informasi, takwa bukan hanya soal apa yang dilakukan di masjid, melainkan juga apa yang dilakukan di balik gawai yang selalu dalam genggaman.
Bagi seorang muslim, ruang digital bukan wilayah netral yang bebas dari nilai. Setiap komentar, unggahan, dan jejak digital dapat bernilai ibadah atau justru menjadi sumber dosa jariyah yang terus mengalir, sekalipun penggunanya sudah lupa atau bahkan sudah meninggal.
Jejak Digital dan Dosa yang Terus Mengalir
Konsep jejak digital mengajarkan bahwa apa yang pernah diunggah di internet benar-benar sulit dihapus. Dalam kacamata fikih, hal ini mirip dengan pahala dan dosa yang terus mengalir selama dampak dari suatu perbuatan masih berlangsung.
Konten yang memicu kebencian, menyebarkan fitnah, hoaks, atau merusak kehormatan orang lain, ketika dibagikan berkali-kali, dapat menjadi sebab dosa berlapis bagi pembuat dan penyebarnya.
Sebaliknya, konten yang membawa manfaat, menumbuhkan pengetahuan, dan mendorong kebaikan bisa menjadi sedekah jariyah dalam versi digital. Di sinilah takwa di dunia maya menemukan bentuk konkretnya: bukan hanya menahan diri dari yang haram, melainkan juga mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap jejak yang ditinggalkan di ruang siber.
Etika Bermedsos dalam Kacamata Fikih
Fikih klasik sudah lama membahas larangan gibah, namimah (adu domba), tuduhan tanpa bukti, dan menyebarkan aib saudara seiman. Di era digital, semua itu hadir dalam bentuk baru: komentar pedas di kolom komentar, serangan pribadi, menyebarkan potongan video tanpa konteks, hingga “meng-capture” kesalahan orang lain, lalu menjadikannya sebagai bahan olok-olok berjamaah. Hanya saja, kini satu unggahan bisa menyebar jauh lebih cepat dan luas dibanding obrolan lisan biasa.
Karena itu, etika bermedia sosial dalam perspektif fikih menuntut beberapa sikap dasar. Pertama, memastikan kebenaran informasi sebelum membagikannya, sejalan dengan perintah untuk tabayyun ketika menerima kabar. Kedua, menghindari hinaan, caci maki, dan merendahkan martabat pihak lain karena setiap manusia memiliki kehormatan yang wajib dijaga. Ketiga, menahan diri dari komentar yang hanya memancing keributan, meskipun dibungkus atas nama “kebebasan berpendapat”.
Dari Kitab Kuning ke Layar Ponsel
Di sebagian pesantren dan kampus Islam, istilah “fikih digital” mulai muncul untuk menyebut upaya mengontekstualisasikan kaidah fikih ke dalam dunia maya. Ini bukan berarti lahir fikih baru yang sama sekali terpisah dari tradisi, melainkan pembacaan ulang atas teks-teks klasik dengan mempertimbangkan realitas teknologi informasi yang sekarang membentuk cara manusia berinteraksi.
Fenomena fatwa online, pengajian di Read Entire Article

5 days ago
7





































