Jakarta (ANTARA) - Kebijakan pembayaran non-tunai atau QRIS di salah satu gerai roti ternama memicu polemik di media sosial setelah unggahan video akun TikTok @arlius_zebua pada Jumat (19/12) menjadi viral.
Dalam video tersebut, seorang pria melayangkan protes karena pihak gerai menolak pembayaran tunai dari seorang nenek yang ingin membeli roti karena harus menggunakan pembayaran QRIS.
Ia mempertanyakan alasan penolakan uang tunai yang sebenarnya masih sah secara hukum. Kewajiban transaksi digital ini memberatkan pelanggan lanjut usia (lansia) yang belum tentu paham atau terbiasa menggunakan sistem pembayaran elektronik.
Lantas, apakah sebenarnya boleh merchant, baik itu individu ataupun kelompok (toko/perusahaan) yang berperan sebagai penjual barang atau jasa tidak menerima pembayaran uang tunai dan hanya memberlakukan pembayaran QRIS?
Pada dasarnya, penerapan transaksi non-tunai bertujuan untuk menyempurnakan kemudahan layanan pembayaran. Sehingga tersedia metode pembayaran alternatif yang fleksibel. Namun, transaksi non-tunai ini bersifat pilihan, bukan kewajiban.
Sifat opsional sistem ini menegaskan bahwa penggunaan uang tunai rupiah sebagai alat pembayaran yang sah secara hukum tidak boleh ditiadakan.
Maka dari itu, pelaku usaha atau merchant tidak boleh menolak uang tunai sebagai alat pembayaran.
Baca juga: Transaksi ekonomi digital Indonesia capai 360 miliar dolar pada 2030
Apabila merchant menolak transaksi tunai rupiah secara sepihak, maka merchant tersebut berisiko melanggar regulasi yang berlaku di Indonesia.
Ketentuan mengenai kewajiban menerima uang tunai sebagai alat pembayaran yang sah ini telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Selain itu, Bank Indonesia melalui Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi, Ramdan Denny Prakoso mengingatkan bahwa menurut Pasal 33 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2011, setiap orang dilarang keras menolak rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
Dalam ayat itu juga disebutkan bahwa siapapun yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana kurungan selama 1 tahun dan pidana denda maksimal sebesar Rp200 juta.
“Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
Menurut aturan tersebut dapat disimpulkan bahwa penolakan terhadap uang rupiah hanya dibenarkan jika terdapat keraguan mengenai keaslian fisik uang tersebut.
Baca juga: Perbedaan QRIS biasa dan QRIS Tap: Mana yang lebih cepat dan praktis?
Selain dari alasan tersebut, setiap pihak dilarang menolak transaksi dalam mata uang rupiah, termasuk pembayaran yang dilakukan secara tunai.
Selaras dengan aturan tersebut, Pasal 2 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia turut menegaskan status rupiah sebagai alat pembayaran sah di Indonesia.
“Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.”
Adapun terkait bentuknya, penjelasan Pasal 19 UU No. 7 Tahun 2011 merinci bahwa uang yang diterbitkan oleh Bank Indonesia terdiri atas jenis uang kertas dan uang logam.
Maka dari itu, secara hukum, setiap penyelesaian transaksi keuangan yang dilakukan di wilayah kedaulatan Indonesia wajib menggunakan Rupiah.
Ketentuan ini pun mencakup penggunaan uang tunai sebagai alat bayar yang sah dan tidak dapat dikecualikan.
Menurut Bank Indonesia, sistem pembayaran non-tunai atau QRIS dirancang untuk memfasilitasi masyarakat sebagai opsi transaksi yang lebih efektif dan nyaman.
Oleh sebab itu, dengan adanya metode pembayaran elektronik, tidak seharusnya turut meniadakan atau mengabaikan penggunaan uang tunai sebagai pembayaran.
Baca juga: Pengelola TWA Kawah Ijen berlakukan pembayaran tiket nontunai
Baca juga: Bank DKI dukung pembayaran non-tunai di Blok M Hub
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.








































