PVJ atau sebutan resminya Paris Van Java Resort Lifestyle Place bukanlah mal biasa di tumpukan beton Bandung. Sejak pertama kali dibuka, ia telah bertransformasi menjadi Museum Kesenjangan yang dikelola secara profesional, dilengkapi dengan pendingin ruangan, parkir canggih, dan air terjun estetis. Ia adalah monumen paling jujur bagi kepura-puraan finansial kami, sebuah koloseum tempat homo sapiens Bandung Raya melakukan ritual Simulasi Kelas Menengah setiap akhir pekan.
Di ibu kota provinsi ini, status tidak lagi diukur dari kontribusi terhadap kemajuan industri, melainkan dari seberapa sering Anda check-in di Coffee Shop bergengsi dan, tentu saja, seberapa sering Anda terlihat berkeliaran di koridor PVJ.
Orang datang ke PVJ bukan untuk membeli kebutuhan. Mereka datang untuk membeli prestise. Mereka datang untuk mengambil bagian dalam sebuah performance sosial, sebuah pentas teater absurd yang tiketnya adalah kemacetan parah di Jalan Sukajadi.
Kasta Retail dan Medan Magnet Penolak Kaum Kere
PVJ dengan brutal membagi pengunjungnya menjadi dua kasta yang tak terhindarkan. Pembagiannya sangat jelas, terpisah oleh karpet yang lebih lembut dan pintu kaca yang lebih tebal.
Kasta pertama ialah Konsumen Sejati. Mereka adalah kaum dengan kartu kredit yang berbelanja tanpa perlu melihat price tag. Mereka menyusuri lorong-lorong yang dihiasi brand dengan nama yang tak berani kita sebut lantang, seperti Hermès, Louis Vuitton, atau gerai fast fashion impor yang harga kausnya setara dengan cicilan motor bekas kami.
Bagi kami Kaum Numpang, toko-toko ini adalah zona bahaya. Pintu kacanya terasa seperti memiliki Medan Magnet Penolak Kaum Kere. Ada rasa takut yang sublim, rasa gentar yang muncul bukan karena takut ditangkap, tetapi takut dihakimi oleh pramuniaga yang berdiri tegak seperti patung perunggu. Kami takut melukai harga diri sendiri ketika mata tanpa sengaja membaca label harga yang mungkin menghabiskan sebagian besar gaji.
Kasta keduas sebagaimana disebutkan di atas ialah Kaum Numpang / Selfie Hunters. Ini adalah kasta mayoritas, kaum yang datang membawa dompet tipis namun smartphone dengan baterai penuh. Kami adalah gerombolan yang sibuk mencari spot foto, yang tujuannya bukan kepuasan berbelanja, melainkan kepuasan bermedia sosial.
Kami adalah pengadopsi setia teori Jean Baudrillard tentang Simulacra and Simulation, di mana kami hidup dalam citra yang lebih nyata daripada realitas. Kami memamerkan citra kaya, padahal hanya mengitari outlet selama setengah jam dan pada akhirnya menyusuri tiga titik suci: bioskop, gramedia, dan toilet.
Tiga Titik Suci ini yang secara ironis mengakomodasi aspirasi kelas menengah yang tertekan:
Inilah inti dari Konsumsi Simbolik ala PVJ. Kami tidak membeli barang, Kami membeli pengalaman atau lebih tepatnya membeli pencitraan pengalaman.
Bandung, Mal, dan Cerpen Eka Kurniawan
Fenomena PVJ ini tak terlepas dari konteks Bandung yang dahulu dikenal sebagai kota Read Entire Article

4 days ago
5




,x_140,y_26/01kdfkg332x5xwjb44ddfrf4m7.jpg)

































