Jakarta (ANTARA) - Perdebatan mengenai rendahnya tax ratio Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir kerap berfokus pada persoalan tarif dan kepatuhan wajib pajak. Padahal, di balik isu tersebut terdapat aset strategis yang semakin menentukan kinerja fiskal negara, yakni data perpajakan.
Dalam konteks ekonomi modern yang semakin terdigitalisasi, data tidak lagi berfungsi sebagai catatan administratif semata, melainkan telah bertransformasi menjadi modal utama negara dalam merumuskan kebijakan, memperluas basis pajak, dan meningkatkan kepatuhan sukarela.
Optimalisasi aset data pajak menjadi fondasi penting untuk mendorong peningkatan tax ratio secara berkelanjutan tanpa harus membebani perekonomian melalui kenaikan tarif pajak.
Dalam konteks Indonesia, angka tax ratio selama satu dekade terakhir relatif stagnan di kisaran 10–12 persen, sementara rata-rata negara Asia Tenggara telah menembus dua digit.
Kondisi ini mencerminkan keterbatasan ruang fiskal dan memperbesar ketergantungan terhadap pembiayaan utang, meskipun perekonomian nasional terus bertumbuh dan nilai PDB telah melampaui Rp20.000 triliun. Kondisi ini mengindikasikan adanya kesenjangan struktural antara potensi ekonomi dan kemampuan negara dalam mengonversinya menjadi penerimaan pajak.
Rendahnya tax ratio ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh tarif pajak yang rendah atau lemahnya pertumbuhan ekonomi. Penelitian empiris di berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa faktor struktural, seperti dominasi sektor informal dan keterbatasan basis data wajib pajak memainkan peran signifikan.
Dalam konteks Indonesia, sebagian besar aktivitas ekonomi masih berada di sektor informal atau semi-formal yang sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional. Tanpa dukungan data yang terintegrasi dan akurat, aktivitas ekonomi tersebut tetap berada di luar radar administrasi pajak.
Aset data pajak yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak mencakup informasi pendaftaran, pelaporan, pembayaran, hingga data pihak ketiga dari sektor keuangan dan perdagangan.
Jumlah dan ragam data ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, tanpa integrasi dan pemanfaatan yang optimal, data tersebut belum sepenuhnya memberikan nilai tambah bagi peningkatan penerimaan negara.
Tantangan utama bukan terletak pada ketersediaan data, melainkan pada kualitas, konsistensi, dan kemampuan sistem untuk mengolah data menjadi dasar pengambilan keputusan yang efektif.
Baca juga: Perluas basis data Coretax, DJP teken kerja sama dengan BKPM
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.








































