Di zaman sekarang ini, listrik menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat modern; bukan hanya untuk penerangan, melainkan juga untuk berkomunikasi, bekerja, dan menikmati layanan kesehatan. Karena itu, masyarakat semakin mengharapkan perbaikan pada sistem distribusi listrik.
Teknologi—seperti smart grid, sensor IoT untuk mengontrol beban, sistem perlindungan otomatis, dan elektronika daya yang presisi—dianggap sebagai jawaban untuk meminimalkan risiko pemutusan listrik massal atau blackout. Masyarakat mulai menyadari bahwa modernisasi tidak hanya tentang mengganti peralatan lama, tetapi juga tentang menerapkan sistem yang cerdas, responsif, dan mampu menyesuaikan dengan beban listrik yang semakin kompleks.
Namun di Indonesia, keandalan pasokan listrik sangat penting karena kehidupan banyak orang bergantung padanya. Sayangnya, kenyataannya menunjukkan bahwa pasokan listrik di berbagai daerah masih kurang stabil. Pemadaman massal atau blackout masih sering terjadi dan dampaknya merugikan banyak pihak, baik secara sosial maupun ekonomi. Peristiwa demikian pernah terekam dalam sejarah kelistrikan nasional.
Pada tahun 2005, Jawa-Bali blackout atau pemadaman listrik massal yang melanda hampir seluruh Jawa dan Bali pada tanggal 18 Agustus 2005, yang membuat sekitar 100 juta orang kehilangan listrik secara serentak.
Selanjutnya, pada tanggal 4 sampai 5 Agustus 2019, terjadi pemadaman massal atau blackout yang memengaruhi lebih dari 21,3 juta orang, menyebabkan kerugian ekonomi sekitar Rp90 miliar. Dan baru-baru ini—pada 4 Juni 2024—sejumlah wilayah di Pulau Sumatra juga mengalami pemadaman massal setelah jaringan transmisi tegangan tinggi terganggu.
Namun, modernisasi distribusi listrik tidak lepas dari tantangan. Blackout atau pemadaman massal yang pernah terjadi membuat masyarakat mempertanyakan sejauh mana kondisi infrastruktur saat ini mampu mengikuti peningkatan kebutuhan energi.
Banyak orang menilai bahwa jaringan distribusi masih menghadapi persoalan usia peralatan yang tua, beban puncak yang tidak merata, serta kurangnya sistem proteksi. Hal ini sering membuat masyarakat merasa bahwa teknologi kelistrikan kita masih tertinggal dibandingkan negara maju.
Tantangan pertama yang dihadapi Indonesia dalam memodernisasi sistem distribusi listrik adalah kondisi geografis negara yang merupakan negara kepulauan. Penyebaran penduduk yang tidak merata serta lokasi-lokasi terpencil membuat pembangunan jaringan listrik menjadi sulit dan mahal.
Laporan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa meskipun akses listrik sudah merata, tetapi suplai listrik yang stabil—terutama di daerah terpencil, tertinggal, dan sulit dijangkau—sering mengalami pemutusan listrik secara mendadak.
Tantangan berikutnya adalah kondisi infrastruktur distribusi yang sudah tua. Banyak jaringan, gardu induk, dan transformator telah beroperasi selama puluhan tahun, sehingga lebih rentan mengalami kerusakan.
Beban listrik yang terus meningkat akibat urbanisasi memperburuk kondisi ini karena infrastruktur lama tidak dirancang untuk menangani lonjakan konsumsi energi modern. Ketika infrastruktur tidak mampu menahan beban puncak atau cuaca ekstrem, risiko blackout makin besar.
Keterbatasan sistem proteksi dan Read Entire Article

2 weeks ago
10





































