REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina Hulu Energi (PHE) menyoroti tantangan sinkronisasi perizinan minyak dan gas bumi (migas) di lapangan. PHE menilai hal tersebut memengaruhi kepastian jadwal eksekusi proyek hulu, terutama di wilayah frontier.
Direktur Perencanaan Strategis Portofolio dan Komersial PHE Edi Karyanto menyampaikan, persoalan itu muncul seiring makin selektifnya perizinan lintas sektor yang harus diselaraskan dalam pengembangan lapangan migas. Edi menjelaskan, PHE mengelola 47 entitas bisnis di dalam dan luar negeri dengan kontribusi signifikan terhadap produksi nasional.
PHE menguasai 27 persen wilayah kerja, menyumbang 69 persen lifting minyak nasional, serta 37 persen produksi gas atau sekitar 2,8 miliar kaki kubik per hari (billion cubic feet per day/BCFD) dari total hampir 6 BCFD produksi gas nasional.
“Kami juga menghadapi tantangan dalam penyesuaian dan penyelarasan perizinan,” tuturnya dalam diskusi Indef di Jakarta, Selasa (23/12/2025).
“Area-area yang sudah terpetakan dalam perizinan kehutanan maupun pertanian perlu diselaraskan bersama agar kepastian jadwal eksekusi proyek lebih konsisten,” ujar Edi menambahkan.
Ia memaparkan, tantangan perizinan kian terasa seiring pergeseran pengembangan hulu migas ke wilayah frontier. Lapangan-lapangan yang relatif mudah telah lama dieksploitasi, sedangkan wilayah baru membutuhkan investasi lebih besar, teknologi lebih tinggi, serta kesiapan infrastruktur pendukung.
Dalam konteks gas bumi, Edi menilai persoalan perizinan berkelindan dengan keterbatasan jaringan pipa dan kesiapan pasar. Di lingkup operasi PHE, permintaan gas terikat kontrak pada 2025 mencapai sekitar 2,5 BCFD, sementara pasokan baru berada di kisaran 2 BCFD. Kondisi tersebut membuat pengembangan lapangan gas baru menjadi kebutuhan mendesak.
“Plan of Development (POD) gas berbeda dengan POD minyak. Jika lapangan bersifat stranded, tidak terhubung ke jaringan pipa, dan tidak didukung permintaan pasar, tentu tidak layak untuk dikembangkan,” ujarnya.
Edi menambahkan, kelayakan proyek gas ditentukan oleh aspek keekonomian, baik dari sisi penerimaan negara maupun ekspektasi pemegang saham. Situasi tersebut menuntut kepastian regulasi dan perizinan agar keputusan investasi sejalan dengan tata kelola perusahaan serta kelayakan teknis proyek.
PHE juga mencatat, dukungan regulator mulai terbuka untuk mengatasi tantangan tersebut, termasuk kesiapan melakukan penyesuaian fiskal guna membuka cadangan migas tersisa. Sinergi dengan SKK Migas dan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM dinilai krusial agar pengembangan lapangan dapat berjalan lebih efektif.
Komitmen investasi hulu PHE tetap berjalan seiring strategi ganda menjaga bisnis konvensional dan mengembangkan portofolio rendah karbon. Sinkronisasi perizinan dan infrastruktur menjadi kunci agar pengembangan gas bumi mampu menopang kebutuhan energi nasional di tengah masa transisi.

4 days ago
5




,x_140,y_26/01kdfkg332x5xwjb44ddfrf4m7.jpg)

































