Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November hingga Desember 2025 menyisakan duka mendalam. Korban jiwa, rumah rusak, dan fasilitas umum lumpuh menjadi perhatian utama. Namun ada satu dampak besar yang sering luput dari sorotan awal, padahal dampaknya jangka panjang dan strategis: kerusakan lahan pertanian dan gagal panen.
Sebagai penyuluh pertanian, saya memandang bahwa rusaknya lahan pertanian bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut ketahanan pangan, keberlanjutan penghidupan petani, dan stabilitas sosial di wilayah terdampak. Sawah yang terendam lumpur, tertutup pasir, bahkan tertimbun material longsor berarti hilangnya sumber nafkah, hilangnya musim tanam, dan hilangnya harapan bagi banyak keluarga petani.
Kerusakan Lahan Pertanian: Fakta yang Tidak Bisa Diabaikan
Data menunjukkan bahwa dampak bencana kali ini sangat serius. Sekitar 40.000 hektare lahan sawah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh dilaporkan terdampak banjir dan longsor. Dari luasan tersebut, sekitar 11.000 hektare mengalami puso atau gagal panen total.
Di Sumatera Utara, per 6 Desember 2025, tercatat 38.878 hektare lahan pertanian terdampak, dengan estimasi kerugian mencapai Rp1,132 triliun. Di Aceh, ratusan hingga ribuan hektare sawah rusak akibat banjir, salah satunya tercatat sekitar 530 hektare di beberapa wilayah. Sementara di Sumatera Barat, lahan pertanian di kawasan Tanah Datar dan sekitar Danau Singkarak juga mengalami kerusakan parah akibat banjir bandang dan longsor.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian, bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, patut diapresiasi karena telah bergerak cepat. Bantuan rehabilitasi lahan, penyaluran benih untuk sekitar 41.500 hektare, serta distribusi ribuan ton pangan menjadi langkah awal yang sangat penting. Namun, dari pengalaman lapangan, saya meyakini bahwa pemulihan lahan pasca bencana tidak bisa berhenti pada bantuan awal saja.
Langkah Teknis Jangka Pendek: Menyelamatkan Musim Tanam
Dalam kondisi pasca banjir dan longsor, ada beberapa langkah teknis yang menurut saya harus segera dilakukan:
Pertama, assessment kerusakan lahan secara detail dan partisipatif. Penyuluh, petani, dan pemerintah daerah harus bersama-sama memetakan tingkat kerusakan: apakah lahan tertutup lumpur tipis, pasir tebal, atau material kayu dan batu. Pendekatan ini penting agar penanganan tepat sasaran.
Kedua, pembersihan dan normalisasi lahan. Di banyak wilayah Sumatera Utara, tantangan terberat bukan hanya lumpur, tetapi kayu gelondongan hasil longsor dari hulu yang menutup sawah dan saluran irigasi. Penanganan ini jelas membutuhkan alat berat, waktu, dan koordinasi lintas sektor, karena tidak mungkin dibebankan sepenuhnya kepada petani.
Ketiga, penyesuaian pola tanam dan varietas. Untuk lahan yang masih memungkinkan ditanami, perlu dipilih varietas yang adaptif, umur genjah, dan toleran terhadap kondisi tanah pasca banjir. Di sinilah peran penyuluh sangat krusial dalam memberi rekomendasi yang realistis, bukan sekadar mengejar target tanam.
Langkah Jangka Menengah dan Panjang: Membangun Pertanian yang Lebih Tangguh
Pemulihan tidak cukup hanya mengembalikan kondisi seperti semula. Justru pasca bencana adalah momentum untuk membangun sistem pertanian yang lebih tangguh terhadap risiko iklim.
Normalisasi daerah aliran sungai (DAS), penguatan tanggul, perbaikan drainase pertanian, serta pengelolaan lahan di wilayah hulu harus menjadi bagian dari agenda jangka panjang. Selain itu, edukasi kepada petani tentang adaptasi perubahan iklim, diversifikasi usaha tani, dan penguatan kelembagaan kelompok tani juga tidak kalah penting.

1 week ago
11







































