Cinta selalu meninggalkan jejaknya, bahkan pada nama yang tak pernah benar-benar pergi dari hidup seseorang; bukan karena ia tinggal, melainkan karena cinta itu mampu membuat luka lama tetap terasa, sebuah perasaan yang nyaris menjadi, tapi terlambat diungkapkan.
Kita bertemu lagi pada sore yang menggantungkan cahaya paling redupnya di jendela. Ruangan itu terlalu bising untuk dua orang yang pernah saling diam selama bertahun-tahun. Namun entah kenapa, kehadiranmu justru menambah sunyinya.
Kamu duduk dengan cara yang selalu kamu lakukan, tenang, seolah dunia adalah sesuatu yang bisa kamu atur jaraknya. Aku berdiri beberapa detik lebih lama dari seharusnya karena ada gugup kecil yang memantul di dadaku; sejenis gugup yang hanya muncul dari seseorang yang tak pernah selesai.
“Kamu masih inget aku?” katamu. Senyum tipis itu masih sama: hati-hati, seolah takut membangunkan sesuatu. Tentu saja aku ingat. Orang tidak bisa melupakan seseorang yang pernah hampir ia genggam.
Aku duduk. Kita bicara hal-hal yang ringan, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang berat berputar di antara kata-kata kita. Bayangan lama tentang dua orang yang saling tahu, saling tunggu, tetapi tak pernah saling jemput.
Dulu kamu menanyakan hal-hal kecil seperti sudah makan, sudah pulang, sudah tiba. Dulu aku menjawab semuanya dengan hati yang ingin membuka pintu, tapi tangan yang selalu ragu meraih gagangnya. Kita hidup pada masa ketika saling memperhatikan sudah cukup untuk membuat dada penuh, tapi tidak cukup untuk membuat kita saling mendekat.
Di tengah percakapanmu sore itu, kamu tiba-tiba menunduk. “Aku kira kamu nggak pernah suka,” ujarmu pelan. Nadanya seperti orang yang sedang menggali kuburan lamanya sendiri. Aku terdiam. Ada sesuatu di tenggorokanku yang rasanya seperti ingatan yang terlalu lama kusimpan. “Aku nunggu kamu duluan,” lanjutmu. Kalimat sederhana yang terasa seperti jendela yang tiba-tiba terbuka setelah bertahun-tahun terkunci.
“Aku juga,” kataku akhirnya. Kalimat yang terlambat, tapi tetap harus diucapkan. Kamu mengangguk. Ada senyum kecil yang tidak bahagia, tetapi pasrah. Seperti seseorang yang menyadari bahwa kehilangan tertentu tidak datang dari perpisahan, tetapi dari penundaan.
Sore merayap menjadi gelap. Kita masih bicara, masih tertawa kecil, tapi kedalaman percakapan sudah tidak bisa ditutupi. Kita sedang membedah masa lalu yang sama, hanya dari dua tubuh yang kini sudah berbeda. “Apa kamu pernah nyesel?” tanyamu. Aku ingin menjawab cepat, tapi hati kadang butuh waktu untuk memutar ulang luka. “Nggak,” kataku. Lalu aku menambahkan, “Tapi aku pernah menyayangkan. Kita hampir jadi.”
Kamu menatapku lama, seolah ingin memastikan aku tidak sedang bercanda dengan kenyataan itu. “Kita telat,” ujarmu. “Iya,” jawabku. “Terlalu telat.” Di titik itu, aku tahu bahwa kita bukan lagi dua orang yang menunggu. Kita hanya dua orang yang sedang menatap reruntuhan sesuatu yang tidak pernah sempat dibangun.
Ketika kita berjalan bersama menuju pintu keluar, langkahmu masih menyesuaikan ritme milikku. Aku memperhatikannya, dan entah kenapa, itu membuat dadaku sedikit sakit. Bukan karena masih mencintai, melainkan karena tubuhmu seolah masih mengingat sesuatu yang kini tidak lagi menjadi miliknya. “Kamu bahagia?” tanyaku. Pertanyaan yang seharusnya sudah tidak lagi menjadi hakku. “Aku coba,” katamu. Senyummu pelan. “Kamu?” Aku menjawab, “Aku juga coba.”
Kita berhenti di depan pintu. Udara malam masuk tanpa permisi, menggetarkan sedikit hela napas kita. Kamu menatapku seperti seseorang yang ingin mengatakan sesuatu, tetapi sadar tidak lagi punya kesempatan. “Kalo waktu itu salah satu dari kita ngomong duluan.”
Kamu tidak melanjutkan. Aku memahami sisanya. “Mungkin kita nggak akan ketemu sebagai dua orang asing yang pura-pura biasa,” jawabku. Kamu tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa yang mengakui kekalahan paling lembut yang pernah ada.
Di tengah percakapan itu, luka lama muncul lagi. Ada cinta yang hampir menjadi, tapi terhenti karena penundaan. Sebuah patah hati yang indah karena tidak pernah benar-benar dimulai.
Malam itu aku pulang dengan langkah yang lebih pelan dari biasanya. Ada kenyang dan kosong yang datang bersamaan. Ada perasaan lega yang anehnya justru membuatku ingin menangis. Di kamar, aku mengulang percakapan kita. Ada rasa hangat kecil, seperti memeluk sesuatu yang dulu ingin kubuang, tetapi ternyata masih ingin kusimpan. Ada juga getir halus, seperti menyadari bahwa sesuatu yang hampir jadi pada akhirnya tetap hanya itu—hampir.

2 weeks ago
9







































