Ketersediaan paracetamol sering dianggap sebagai indikator paling sederhana dari akses kesehatan masyarakat. Obat pereda nyeri ini tersedia secara luas, murah, dan menjadi lini pertahanan pertama bagi keluhan kesehatan dasar. Namun, persepsi publik mengenai keamanan pasokan obat ini sering kali terbiaskan oleh label produksi dalam negeri pada kemasannya.
Di balik kenyamanan akses tersebut, terdapat kerentanan struktural serius dalam arsitektur industri farmasi nasional. Industri ini tampak ekspansif secara fisik, tetapi sejatinya mengalami dependensi akut terhadap rantai pasok global. Realitas ini menempatkan sistem kesehatan nasional dalam posisi rapuh di tengah dinamika geopolitik yang kian tidak menentu.
Ketimpangan Fundamental di Sektor Hulu
Data lapangan menyingkap ketimpangan fundamental dalam struktur produksi farmasi Indonesia. Berdasarkan paparan Kementerian Perindustrian di hadapan DPR RI pada Juli 2024, ketergantungan impor Bahan Baku Obat (BBO) nasional secara persisten berada di angka lebih dari 90%. Secara nominal, ketergantungan ini menelan devisa yang sangat besar. Tercatat nilai impor BBO mencapai US$ 509 juta dengan volume 35.890 ton pada tahun 2022.
Struktur pasokan ini sangat rapuh karena terpusat pada dua negara hegemon. Tiongkok menguasai 45% dan India 27% dari total pasokan bahan baku tersebut. Angka ini menjadi indikasi kuat bahwa industri farmasi dalam negeri mengalami fenomena deindustrialisasi di sektor hulu. Pabrik yang berdiri megah di kawasan industri nasional praktis hanya menjalankan fungsi hilir terbatas pada formulasi bahan kimia impor dan pengemasan produk akhir.
Posisi Asimetris Indonesia dalam Rantai Nilai Global
Dalam perspektif ekonomi politik internasional, posisi Indonesia terperangkap di lapisan terbawah Global Value Chain. Fenomena ini dapat disebut sebagai industrialisasi semu di mana Indonesia berperan sebagai perakit atau assembler yang menyerap nilai tambah minimal. Hal ini menyebabkan proses formulasi dan pengemasan di dalam negeri memiliki kompleksitas teknologi yang jauh lebih rendah dibandingkan produksi bahan baku di hulu.
Sementara itu, penguasaan teknologi inti, hak kekayaan intelektual, dan kendali produksi zat aktif tetap berada di tangan negara produsen bahan baku. Kondisi ini melanggengkan struktur hubungan pusat dan pinggiran yang asimetris. Negara produsen di hulu dapat mendikte harga dan kuota, sedangkan Indonesia di hilir hanya menjadi penerima harga.
Akibatnya, keuntungan industri farmasi nasional terus tergerus oleh fluktuasi kurs dan harga bahan baku global, membuat kita sulit melakukan reinvestasi untuk riset dan pengembangan. Indonesia menyediakan pasar besar bagi produk bahan baku asing tanpa memiliki kapasitas untuk mandiri secara substansial.
Akar permasalahan ini juga dapat ditelusuri pada dominasi logika pasar dalam perumusan kebijakan industri kesehatan selama beberapa dekade terakhir. Secara perhitungan yang berbasis keunggulan komparatif, keputusan untuk mengimpor bahan baku dari Tiongkok memang rasional karena harganya jauh lebih kompetitif dibandingkan produksi lokal.
Namun, pendekatan teknokratis ini mengabaikan dimensi politik dan keamanan. Negara tidak dapat disamakan dengan entitas korporasi yang hanya mengejar efisiensi biaya. Negara memikul tanggung jawab konstitusional untuk menjamin keamanan dan keselamatan warganya dalam situasi apa pun.
Risiko Keamanan yang Nyata
Ketergantungan rantai pasok yang terpusat pada satu atau dua negara menciptakan risiko keamanan nyata atau yang disebut sebagai Read Entire Article

2 weeks ago
10







































