Sekolah makin kompetitif, tapi banyak anak justru takut mencoba. Takut akan gagal pelan-pelan membunuh keberanian belajar anak.
Di banyak ruang kelas hari ini, kegagalan bukan lagi dianggap bagian dari proses belajar, melainkan sesuatu yang harus dihindari. Anak-anak tumbuh dengan rasa cemas setiap kali harus menjawab pertanyaan, mengerjakan tugas, atau mencoba hal baru. Mereka bukan tidak mampu, tetapi takut salah. Dalam sistem pendidikan yang terlalu menekankan nilai dan peringkat, keberanian untuk mencoba sering kali kalah oleh ketakutan untuk gagal.
Ketakutan ini tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan dari kebiasaan membandingkan nilai, memberi label “anak pintar” dan “anak kurang mampu”, hingga reaksi berlebihan saat anak melakukan kesalahan. Tidak sedikit anak yang akhirnya memilih diam di kelas, menyalin jawaban teman, atau enggan bertanya, bukan karena tidak mau belajar, tetapi karena takut dinilai bodoh. Di titik ini, sekolah tanpa sadar sedang mengajarkan satu pelajaran yang keliru: lebih aman tidak mencoba daripada berisiko salah.
Guru sering berada di posisi paling sulit dalam sistem pendidikan yang menuntut hasil cepat dan serba terukur. Target kurikulum, tekanan administrasi, serta budaya penilaian membuat proses belajar terasa kaku dan minim ruang aman untuk mencoba. Ketika kesalahan langsung dibalas koreksi keras atau nilai rendah, anak belajar bahwa gagal adalah aib, bukan proses. Padahal, di tangan guru, kelas bisa menjadi ruang yang membebaskan: tempat anak berani bertanya, salah, lalu belajar. Sayangnya, sistem sekolah masih lebih sibuk mengejar angka daripada memastikan anak merasa aman untuk tumbuh.
Dalam jangka panjang, ketakutan akan kegagalan tidak hanya menghambat prestasi, tetapi juga membentuk cara anak memandang dirinya sendiri. Anak menjadi mudah ragu, takut mengambil keputusan, dan kehilangan rasa ingin tahu yang seharusnya menjadi inti dari belajar. Motivasi belajar bergeser dari keinginan memahami menjadi sekadar menghindari hukuman atau nilai buruk. Lebih mengkhawatirkan lagi, pola ini terbawa hingga remaja dan dewasa, ketika mereka terbiasa bermain aman dan merasa gagal sebelum benar-benar memulai.
Mengubah situasi ini tidak harus menunggu sistem pendidikan ideal. Langkah kecil bisa dimulai dari ruang kelas dan rumah. Guru dapat memberi ruang pada proses, bukan hanya hasil, dengan mengapresiasi usaha, keberanian bertanya, dan kemauan mencoba, meski jawabannya belum tepat. Sekolah pun perlu menata ulang cara memaknai penilaian, bukan sekadar alat seleksi, tetapi sarana belajar. Di sisi lain, orang tua dapat berhenti menjadikan nilai sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan anak. Ketika anak merasa aman untuk salah, mereka akan lebih berani mencoba, dan dari situlah belajar yang sesungguhnya tumbuh.
Pada akhirnya, pendidikan bukan tentang siapa yang paling cepat berhasil, melainkan siapa yang berani terus belajar. Anak-anak tidak membutuhkan sekolah yang sempurna, tetapi lingkungan yang memberi mereka keberanian untuk mencoba tanpa takut dipermalukan oleh kegagalan. Jika sekolah, guru, dan orang tua mampu berdamai dengan kesalahan sebagai bagian dari proses, kita sedang menyiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara mental dan berani melangkah ke masa depan.

5 hours ago
2







































