Selama beberapa minggu terakhir, bencana banjir dan longsor di Aceh dan sebagian wilayah Sumatera telah menimbulkan dampak kerusakan besar. Lebih dari 250 jembatan penghubung rusak, akses terputus, listrik padam selama berhari-hari, dan banyak wilayah tidak dapat dijangkau bantuan. Dalam kondisi genting seperti ini, masyarakat hanya bergantung pada kehadiran pemerintah bukan sekadar dalam bentuk bantuan fisik, tetapi juga komunikasi yang empatik dan menenangkan.
Sayangnya, sempat muncul pernyataan pejabat pusat yang menyebut bahwa situasi bencana “lebih mencekam di media sosial”. Ketika ia akhirnya turun ke lokasi dan meminta maaf, jejak kekecewaan masyarakat tetap sulit dihapus. Ini menunjukkan bahwa komunikasi pemerintah pada saat bencana bukan hanya soal data, tetapi soal rasa.
Pemerintah seharusnya menunjukkan simpati, empati, dan kehadiran emosional dalam setiap pesan publik: menguatkan warga, meminta mereka tetap saling membantu, serta memberikan kepastian bahwa bantuan sedang bergerak. Komunikasi yang gegabah bukan hanya memperburuk suasana, tetapi juga memperlemah kepercayaan publik.
Model Komunikasi Bencana Menurut Puji Lestari
Dalam artikel Table Top Exercise Disaster Communication Model in Reducing Disaster Risk (2019), Puji Lestari dan tim merumuskan lima fase komunikasi bencana yang menjadi kerangka mitigasi dan pengurangan risiko. Kerangka ini sangat relevan untuk memahami bagaimana sebuah pesan seharusnya dibangun oleh pemerintah dalam situasi kritis.
Model Lestari menekankan bahwa komunikasi bukan hanya mengirim pesan, tetapi juga menerima umpan balik, membangun koordinasi multi-pihak, dan memastikan kesinambungan dari pra-bencana hingga pasca-bencana.
Pelajaran Penting untuk Pemerintah
Kasus Aceh dan Sumatera memperlihatkan bahwa:
Pada akhirnya, komunikasi bencana adalah kombinasi antara sains, manajemen, dan kepekaan kemanusiaan. Kata-kata yang tepat pada waktu yang tepat dapat menjadi “bantuan pertama” sebelum logistik tiba.

2 weeks ago
10







































