Pagi hari di SPPG Mutiara Keraton Solo, Tamansari, Bogor, diisi dengan cara kerja yang rapi. Di ruang pemorsian lantai dasar, deretan ompreng terbuka menunggu giliran diisi.
Begitu melangkah masuk ke area produksi, setiap orang diwajibkan mengenakan sarung tangan, masker, dan hair cap. Prosedur ini menjadi pintu awal sebelum menyusuri ruang demi ruang di lantai dasar.
Mulai dari ruang produksi, ruang produksi basah, hingga ruang khusus pemilahan sampah plastik dan kertas. Semua tertata fungsional, menyesuaikan ritme kerja dapur berskala besar.
Hari itu, Selasa (16/12), menu yang dimasak sederhana namun akrab di lidah: nasi, sayur tauge, lele, tempe, dan susu. Di ruang pemorsian, tangan-tangan para pekerja tampak cekatan membagi makanan ke dalam ompreng.
Mereka memastikan jumlah dan susunan sesuai standar. Aktivitas berlangsung senyap namun cepat, mengejar waktu distribusi ke sekolah-sekolah.
SPPG Mutiara Keraton Solo dikelola oleh Jimmy Hantu Foundation, sebuah rumah yang bergerak di bidang pertanian, sosial, dan kemasyarakatan. Pilihan menu dan bahan bakunya tidak lepas dari prinsip yang sejak awal mereka pegang, yakni mengutamakan bahan lokal.
Pengelola SPPG Mutiara Keraton Solo, Sujimin—yang akrab disapa Jimmy Hantu—menegaskan hampir seluruh bahan yang digunakan berasal dari lokal.
“Ya, kita saya katakan 90% bahan lokal. Jika perlu ya memang harus sudah 100% bahan lokal. Dan sengaja memang kami tidak ingin yang mana bahan sampai bahan luar dari ini. Ini program negeri Indonesia, jangan sampai program negeri Indonesia tapi yang mengambil orang lain,” kata Jimmy.
Menurutnya, program MBG semestinya tidak berhenti di dapur, tetapi memberi dampak langsung pada rantai pasok di tingkat petani dan peternak.
“Dan justru dari program ini yang paling diuntungkan petani sebenarnya. Bukan yang punya dapur. Ini yang paling banyak duitnya harusnya petani. Karena total isi ompreng itu isinya adalah makanan. Lah, makanan ini makanan lokal. Hal ini mungkin perlu disikapi bersama-sama. Kita benar-benar rantai pasok untuk kearifan lokal berjalan dengan baik,” jelasnya.
Dampak itu, kata Jimmy, mulai terasa di tingkat paling dasar. Tanaman yang sebelumnya kurang diminati kini justru memiliki nilai ekonomi karena masuk ke rantai pasok MBG.
“Sirkular ekonominya sangat tinggi sekali. Kenapa? Orang yang sebelumnya tidak kenal namanya daun kelor saja, sekarang daun kelor laku. Terus kan sebelumnya yang mana orang pada malas-malasan, sekarang tanam pokcoy pun dia laku,” ujar Jimmy.
Perubahan juga terjadi pada kebiasaan beternak warga sekitar, bahkan dalam skala kecil.
“Bahkan dia sebelumnya orang nggak mau ternak ayam, sekarang pun mau ternak ayam meskipun satu ekor, dua ekor,” tuturnya.
Sebelum terlibat dalam program Badan Gizi Nasional (BGN) itu, Jimmy Hantu Foundation sebenarnya telah lebih dulu menjalankan rumah Cegah Stunting. Anak-anak dengan kondisi stunting dikumpulkan dan diberi makan langsung setiap hari.
“Jadi sebelum ada program BGN (Badan Gizi Nasional) ini, kami sudah punya rumah Cegah Stunting. Cegah Stunting ini gratis dari kami. Setiap hari ngasih makan dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang,” kata Jimmy.

1 week ago
9







































