Pengalaman bertahun-tahun di sirkuit balap mengajarkan satu hal pada Sudarmono, bahwa balapan bukan semata perkara kebut-kebutan. Maka, ketika anaknya mulai jatuh cinta pada motor, ia tak hanya mengajarinya gas dan rem, tapi juga menuntunnya ke jalur yang tepat. Kelak, putranya tercatat dalam sejarah sebagai pebalap Indonesia pertama yang finis nomor satu di Sirkuit Mugello, Italia, pada usia 16 tahun.
Ialah Veda Ega Pratama, pebalap muda asal Kapanewon Wonosari, Gunungkidul, yang bakal berkompetisi di Moto3 tahun depan. Veda selangkah lebih dekat untuk berlaga di kejuaraan balap motor paling kesohor sedunia: MotoGP. Seluruh kegemilangan itu tak diawali dengan keistimewaan—bagaimana mungkin, jika sirkuit untuk latihan saja ia tak punya? Saat awal-awal mengenal motor, satu-satunya tempat Veda bisa memacu gas adalah sebuah pasar sapi di kapanewon tetangga.
“Dulu latihannya cuma yang sebelah sana. Di sini belum ada aspalnya, belum kayak gini, terus kotor banget dulu. [...] ingat banget dulu masih ada pohon di tengah,” kenang Veda saat ditemui di Pasar Sapi Siyono Harjo, Playen, Jumat (5/12). Sampai hari ini, tempat yang sama masih sering dimanfaatkan sebagai lintasan pacu oleh warga lokal. Maklum, provinsi ini memang masih belum memiliki sirkuit balap motor permanen.
Sejak Veda kecil, Sudarmono sering mengajaknya menonton balapan, termasuk saat dirinya sendiri yang beraksi di sirkuit. Namun, ia tak pernah memaksakan anaknya untuk memilih jalan hidup yang sama. Walakin, memang benarlah peribahasa itu, bahwa jatuhnya buah tak akan jauh-jauh dari pohonnya. Saat Veda menunjukkan minatnya pada motor, barulah Sudarmono mulai mengajarinya tentang balapan.
“Saya lihat anaknya minat enggak sama motor itu? (Ternyata) dia suka, terus tak kasih tahu tentang balapan, tak kasih tahu tentang video-video balapan. Akhirnya dia pengen juga pakai baju balap, pengen balapan,” katanya. Minat Veda tak dibiarkannya hanya tumbuh setengah-setengah. Jika benar-benar tertarik terjun ke sirkuit, ia harus punya mimpi dan target. Tujuannya satu, agar anaknya itu termotivasi dan terus berlatih dengan rajin.
“Saya bilang, ‘Kamu pengen nggak seperti seperti ini?’ Kalau dia pengen, ya selalu latihan. Kalau dia nggak niat, masak mimpimu sampai sini (tapi) kamu latihannya nggak niat,” ujarnya mengulang nasihat kepada Veda. Di usia 4 tahun, putranya itu sudah mengikuti balapan motor kecil, dilanjut balap motocross dan road race saat memasuki usia 8 tahun.
Sudarmono mengombinasikan ruang latihan yang terbatas dengan pengetahuannya tentang hal-hal yang dibutuhkan dalam balapan. Di pasar sapi itu, dilatihnya Veda agar memiliki kelincahan dan daya tarung. Semua disarikan dari pengalaman Sudarmono sendiri selama melaju di trek.
Ayah yang Mengarahkan di Balik Lintasan
Memiliki ayah yang akrab dengan dunia balap merupakan suatu keuntungan bagi Veda. Faktor ini menjadi salah satu penentu keberhasilannya, yang meski berangkat dari lintasan seadanya, namun mampu merangsek hingga ke level dunia. Sebagai mantan pebalap, ayah Veda tak hanya paham teknik, tetapi juga mengerti celah untuk bisa masuk ke industri bergengsi ini. Tanpa seluruh pengetahuan itu, langkah Veda mungkin tak akan sejauh sekarang.
Sudarmono ingat jelas, generasinya di masa lalu mengonotasikan kata ‘balapan’ dengan hal buruk. Bukan podium prestisius yang muncul dalam benak kala mendengar kata itu terucap, melainkan sekumpulan bocah jalanan yang ramai-ramai menggeber kendaraan secara serampangan.
“Saya balapan dari liar, maksudnya dari jalanan. Generasi saya kalau balapan ya memang harus motor kencang, nggak ada prepare fisik seperti itu,” kenangnya. Kompleksitas dunia balap baru dilihat Sudarmono saat berkesempatan mencicipi kompetisi di tingkat Asia. Dari situ, ia sadar bahwa kejuaraan-kejuaraan tingkat dunia membutuhkan regenerasi talenta muda, bahkan sejak usia yang sangat belia. “(Karena) saya sudah tahu jalurnya, maka saya tata anak saya ke jalur itu.”

1 week ago
9







































